Friday 9 September 2016

Ikan Arwana Super Red dari Kapuas Hulu



Ikan Arwana Super Red dari Kapuas Hulu

Arwana Super Merah ( Arwana Super Red ) merupakan salah satu harta karun Indonesia dan menjadi ‘icon’ arwana yang harus kita lestarikan. Karena itu Anda harus ikut melestarikannya, untung akhirnya banyak pihak yang sadar untuk melindungi alam ini. Sebab ikan ini adalah salah satu binatang langka di dunia, oleh karena itu layaklah semua pihak ikut melestarikan satwa yang penuh pesona. Ikan ini indah dipandang sebab gerakannya yang anggun dan warnanya yang merah menyala, sehingga Anda dapat  merasakan ketenangan saat melihatnya.
Ikan Arwana Super Red adalah ikan arwana yang habitat aslinya ada di Sungai Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sungai yang terbentang lebar dari perbatasan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Selatan merupakan sungai asal habitat dari ikan Arwana Red.
Awal tahun 1987 ikan Arwana Super Red sangat banyak ditemukan di Sungai Kapuas Hulu, di Kecamatan Semitau. Daerah ini merupakan salah satu tempat budidaya ikan Arwana Red terbaik di Kalimantan Barat, selain Putusibau dan Pontianak.
Jenis ikan Arwana ini masih tetap eksis ditengah krisis ekonomi global, sebab sudah selayaknya mendapat sambutan yang baik dari masyarakat mengingat arwana Shelook Red ini merupakan ikan hias asli Indonesia.
Ikan Arwana Red bukan ikan biasa, sebab sekarang kontes-kontes Arwana Red semakin sering diselenggarakan di Indonesia. Bisa jadi suatu saat Indonesia akan menjadi barometer ikan hias dunia, khususnya Arwana Super Red ini.

Kabupaten Kapuas Hulu sangat terkenal dengan ikan arwana jenis super red. Meskipun asli dari wilayah paling timur di Kalimantan Barat (Kalbar) ini, namun tidak semua daerah di Kapuas Hulu cocok dijadikan kawasan penangkaran arwana. Salah satu daerah yang sangat cocok dijadikan lokasi penangkaran ikan arwana adalah Kecamatan Suhaid. Sehingga tidak heran, mayoritas masyarakat Suhaid memiliki penangkaran ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi ini.
Suhaid merupakan salah satu kecamatan di Kapuas Hulu. Dari Putussibau ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, menuju Suhaid memakan waktu tempuh sekitar tujuh jam perjalanan darat. Kecamatan ini dapat juga ditempuh melalui jalur sungai.

Walaupun super red arwana habitatnya di Kapuas Hulu, tidak semua daerah di Bumi Uncak Kapuas cocok dijadikan lokasi penangkaran. Berbeda dengan alamnya Kecamatan Suhaid, begitu sangat mendukung dilakukan penangkaran ikan mahal tersebut. Ikan ini sensitif dalam pemilihan alam. Makanya di Kapuas Hulu tidak seluruh wilayahnya cocok untuk arwana produksi, tapi kalau hanya sekedar ikan bisa hidup banyak. Ini karena air di Suhaid lebih cocok.


Sebagai habitat asli Kapuas Hulu, maka sudah sewajarnya ikan super red arwana ini segera diurus hak ciptanya oleh pemerintah daerah. Jangan sampai keduluan daerah lain, apalagi negara tetangga, Malaysia. Karena untuk Malaysia sudah memiliki hak cipta jenis arwana golden red. Sangat lucu, Malaysia sudah mematenkan golden red, kok kita tidak mematenkan super red arwana. Padahal ini produk andalan kita, tapi tidak ditunjang. Kalau sudah dipatenkan, maka akan menambah nilai jual. Pemerintah jangan lambat mempatenkannya.

Wisata Tanpa Bayangan Di Titik Nol Tugu Khatulistiwa



Wisata Tanpa Bayangan Di Titik Nol Tugu Khatulistiwa


Tugu Khatulistiwa dibangun pada 31 Maret 1928. Tugu Khatulistiwa yang asli terbuat dari kayu belian (kayu besi atau kayu ulin) yang terdiri dari empat tonggak yang mana 2 buah tonggak bagian depan dengan tinggi 3,08 meter dari permukaan tanah, dan 2 buah tonggak bagian belakang dengan tinggi 4,40 meter dari permukaan tanah. Keterangan simbol berupa anak panah menunjukkan arah utara – selatan (lintang 0 derajat). Keterangan simbol berupa flat lingkaran yang bertuliskan EVENAAR, memiliki arti khatulistiwa dalam bahasa Belanda, menunjukkan belahan garis khatulistiwa atau batas utara dan selatan. Sedangkan flat di bawah arah panah ditulis 109°20’0”0LvGR, artinya garis khatulistiwa di Kota Pontianak bertepatan dengan 109° garis bujur timur 20 menit 00 detik GMT.

Berdasarkan catatan yang diperoleh pada tahun 1941 dari V. en V oleh Opsiter Wiese dikutip dari Bijdragentot de Geographe dari Chep Van dan Topographeschen Dien in Nederlandsch Indie: Den 31 Sten Maart 1928 telah datang di Pontianak, satu Ekspedisi internasional yang dipimpin oleh seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik atau tonggak garis ekuator di Kota Pontianak. Penentuan titik ekuator dilakukan secara astronomi, artinya bahwa pengukuran yang mereka lakukan tanpa mempergunakan alat yang canggih seperti satelit atau Global Positioning System (GPS). Mereka hanya berpatokan pada garis yang tidak smooth (garis yang tidak rata atau bergelombang) serta berpatokan pada benda-benda alam, seperti rasi bintang (ilmu falaq).

Garis Khatulistiwa membentang melingkari tengah-tengah dan membelah bumi menjadi dua belahan yang sama, yaitu Belahan Utara dan Belahan Selatan. Garis Khatulistiwa melewati beberapa kota di Indonesia, misalnya Provinsi Kalimantan Barat, seperti Sekadau, Nanga Dedai, dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia, di antaranya: Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku dan Provinsi Papua.

Awal kontruksi pembangunan, tugu ini dibangun berupa tonggak dengan tanda panah. Lalu pada tahun 1930, disempurnakan menjadi berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah. Tahun 1938, tugu asli dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh Opsiter/Architech Silaban pada bagian lingkarannya menjadi seperti sekarang ini. Tahun 1990, Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah dan duplikat Tugu Khatulistiwa dengan ukuran lima kali lebih besar dari tugu aslinya. Peresmian kubah dan replika Tugu Khatulistiwa dilakukan pada 21 September 1991 oleh Gubernur Kalimantan Barat, Parjoko Suryo Kusumo.
Kemudian pada Maret 2005, posisi Tugu Khatulistiwa dikoreksi kembali oleh Tim dari BPPT yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Pontianak. Secara satelit, ternyata terdapat perbedaan ± 117 meter dari posisi yang asli ke arah selatan khatulistiwa. Perbedaan itu terjadi karena faktor akurasi alat dan cara yang digunakan pada waktu dulu dan sekarang. Jadi perlu diketahui bahwa bumi yang kita tempati ini adalah bergerak dengan dua gerakan sekaligus, yaitu berotasi dan berevolusi, sehingga dapat menyebabkan pergeseran. Menurut ahli geologi, bumi itu mengalami pergeseran scara alami sebanyak ± 1 mm, apalagi kalau terjadi gempa akan semakin besar pergeserannya.

Jadi, perbedaan antara pengukuran astronomi (ilmu falaq) dan satelit, tidaklah perlu diperdebatkan terus menerus. Kita harus menghargai perbedaan dan jerih payah orang-orang terdahulu sebelum pengukuran secara satelit diketemukan. Yang harus kita lakukan sekarang adalah memelihara dan melestarikan aset yang sangat berharga ini agar tidak hilang di makan zaman serta demi untuk generasi yang akan datang